Sabtu, 07 Februari 2009

Tamuku

“Bu, ada Rina, anaknya Mas Danu” ucap Ita kakak ku kepada Ibu sesaat setelah dia membukakan pintu untuk tamu yang baru datang. Seperti biasa jika ada tamu, aku akan langsung di bawa ke kamar oleh Ibu. Hhhh, Bu, kenapa tidak membiarkan aku untuk berkenalan dengan tamu itu sih.
“Kamu disini saja dulu, diam ya jangan teriak-teriak, Ibu akan menemui tamu itu” pesan Ibu sambil mengunci pintu kamar dari luar. Klik.
Apa salah ku sampai-sampai untuk bertemu dengan orang saja aku dilarang. Aku sebenarnya kasihan juga melihat Ibu yang setiap hari tak lelah menjaga dan merawatku. Dikala aku ingin kekamar kecil, ibu selalu mengingatkanku agar segera melaksanakan niatku itu, karena jika terlambat sedikit saja, maka seluruh pakaianku akan basah dan kotor.
Ibu yang sudah sangat tua, entah sampai kapan beliau akan sanggup menjaga dan merawatku. Saudara-saudaraku memang baik padaku, mereka memberikan segala kebutuhanku, tapi kenapa aku harus dibawa ke tempat ini. Semuanya memang terlihat sangat indah, di dalam rumah dengan perabotan yang mewah ini. Tapi aku tidak diijinkan menyentuh perabotan ini. Berbeda dengan rumah kami yang dulu, disana aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Kalau disini, untuk duduk di ruang keluarga, aku selalu diawasi Ibu, memegang benda apa pun di rumah ini, maka aku akan segera di bawa kembali ke kamar.
“Seli, mana Bu kok tidak kelihatan” terdengar tamu itu menyebut-nyebut namaku.
“Ada dikamarnya” jawab Ibu. Memang aku sedang berusaha mendengarkan perbincangan Ibu dengan tamu itu, karena mereka duduk di ruang keluarga yang letaknya di depan kamarku.
Aku berusaha menarik perhatian mereka, dengan cara memutar gagang pintu berulang kali, mudah-mudahan saja Ibu dan tamu itu memperhatikan tingkahku dan mereka akan mengijinkan aku bergabung bersama mereka. Tapi usahaku tidak membuahkan hasil karena Ibu dan tamunya tidak menggubris aksi ku.
Hhhh, kenapa sih Ibu jadi ikut-ikutan membelengguku seperti saudaraku yang lain. Selang beberapa jam ku dengar langkah kaki menuju kamarku. Itu pasti Ibu. Karena hanya beliau yang mau masuk ke kamar ini. Aku tak tahu kenapa sampai-sampai keempat saudaraku yang lain enggan untuk sekedar menjenguk ku di kamar ini.
“Seli kan ada tamu , gagang pintu tidak usah diputar terus, Seli, duduk saja dulu ya, nanti Ibu kesini lagi, Ibu mau berbicara dengan tamu itu dulu, itu namanya mbak Rina, dulu dia pernah main bersama Seli” lembut nada Ibu.
“Hhh’ hh’ “ entah kenapa, setiap kali aku ingin mengemukakan alasanku selalu saja lidah ini tidak bisa mengeluarkan kata dengan benar.
“Ibu mengerti kalau Seli juga mau keluar dan ingin bertemu dengan tamu itu, tapi nanti saja ya” suara tua Ibu menenangkanku.
“Nah sekarang Ibu mau menemui tamu itu lagi, Seli duduk yang manis ya” Ibu mulai beranjak meninggalkanku, aku tidak mau tinggal diam dikamar ini, aku berusaha mengejar ibu. Tapi keinginanku tetap tidak akan pernah terwujud. Karena dengan sigap Ibu menutup dan mengunci kamar ku dari luar.
“Bu, kenapa Seli tidak dibiarkan duduk bersama kita disini” terdengar suar sang tamu menanyakanku lagi.
“Sebenarnya Ibu ingin sekali membiarkannya untuk bermain sebagaimana layaknya kita dan keluarga ini di dalam rumah. Tapi sekarang Seli semakin sulit untuk dikendalikan., setiap dia melihat minuman yang kita suguhkan untuk tamu, dia akan segera meminumnya. Seli tak peduli bahwa minuman itu bukan untuknya. Dia akan menghabiskan semua minuman yang berada didekatnya. Makanya Ibu tidak membawa Seli keluar” jelas Ibu.
“Bu, tidak masalah kok, kalau Seli menghabiskan minuman saya, toh saya sudah mengerti dengan keadaannya. Kasihan Seli Bu, jangan siksa dia seperti itu” aha, si tamu ternyata memihakku.
“Baiklah nanti Ibu akan bawa Seli kesini” Ibu terdengar mengalah. Aku senang
sekali mendengar janji Ibu itu. Terima kasih ya tamu ku yang baik. Walau aku belum mengenalmu setidaknya kamu sudah berhasil merubah pemikiran Ibu ku.
Aku bersiap-siap di depan pintu. Aku ingin segera melihat rupa tamu ku yang sangat mempehatikan ku itu. Tapi… kenapa Ibu belum muncul juga. Sepertinya aku sudah menunggu sangat lama. Atau mungkin Ibu kembali kepada pemikirannya. Aku harus mendengarkan pembicaraan mereka kembali.
“Seli itu sekarang sudah dua puluh lima tahun loh, Nak Rina. kalau saja keadaannya sehat seperti saudaranya yang lain, barangkali Ibu sudah mempunyai satu atau dua orang cucu dari dia. Sekarang umur Ibu sudah tujuh puluh dua tahun, Ibu sudah sakit-sakitan, apalagi sekarang ini, semua badan Ibu terasa kesemutan, Ibu jadi bingung, penyakit apa yang sedang bersarang di badan Ibu” nada Ibu terdengar sedih.
“Ibu, yang sabar ya, Insyaallah, semuanya akan dibalas dengan yang lebih baik lagi oleh Allah. Apakah Ibu sudah kedokter untuk mengobati rasa kesemutan dibadan Ibu”
“Sudah, kata dokter hanya asam urat saja yang sedikit tinggi”
“Kalau begitu mungkin Ibu perlu jalan-jalan pagi diluar, agar Ibu mendapatkan cahaya matahari pagi serta udara pagi yang masih sejuk dan bersih.Ibu juga bisa mengajak Seli untuk ikut dengan Ibu”
“Rina, Rina, bagaimana Ibu akan mengajak Seli, kamu lihat sendiri, keadaan rumah ini, kami tinggal dilantai empat yang untuk turun kebawah saja , kami harus menggunakan lift atau tangga. Seli itu takut sekali di ajak masuk kedalam lift, kalau Ibu membawa Seli kebawah dengan menggunakan tangga, kamu bayangkan sendiri apa yang akan terjadi dengan Ibu, dengan besar tubuh Seli yang melebihi besar badan Ibu. Bisa-bisa kami berdua akan jatuh berguling dari lantai empat sampai lantai satu.”
“Bu, kenapa Bang Erwin membawa Ibu pindah ke Apartemen ini sih” sang tamu mengalihkan pertanyaannya setelah mendengarkan penjelasan Ibu tadi. Berarti pikiran tamuku sama dengan pikiranku.
“Mungkin maksudnya agar lebih dekat dengan dia dan ketiga anak ibu yang lain. Mereka semua tinggal di apartemen ini. Erwin juga tidak ingin melihat Ibu dirumah yang dulu sendirian dalam mengasuh dan merawat Seli. Kalau disini, banyak yang akan memperhatikan kami, begitu alasannya.”
“Tapi, apakah itu tidak berlebihan Bu, mereka semua tetap tidak bisa memperhatikan Ibu juga kan, sebelumnya maafkan saya loh Bu. Karena keempat anak Ibu semuanya bekerja. Sementara kalau di rumah mungkin hanya malam saja. Bagaimana mungkin mereka akan memperhatikan Ibu dengan sempurna”
“Itu lah sebenarnya yang membuat Ibu bersedih. Dulu sewaktu tinggal di perumahan, Ibu bisa mengajak Seli untuk jalan-jalan meskipun dengan keadaan yang demikian, tapi sekarang, untuk keluar sendiri pun Ibu tidak berani, karena takut nyasar di gedung yang tinggi ini.”
Oh, Ibu ternyata pemikiran Ibu sama denga pemikiranku. Aku telah salah sangka denga sikap Ibu ku yang sangat memperhatikan aku. Ternyata kami berdua memang tidak nyaman tinggal di tempat ini.
“Bagaimana jika mengajak mbak Sri untuk membantu memegang Seli turun kebawah Bu” saran tamuku.
“Ibu pernah memintanya, tapi sepertinya dia enggan untuk melakukannya, mungkin karena tugasnya di rumah ini sudah cukup banyak.”
“Mungkin, Bang Erwin bisa mengambil baby sitter untuk membantu menjaga Seli dan Ibu. Tapi baby sitter itu hanya bersifat membantu, semuanya di bawah perintah Ibu”
“Ibu belum berpikiran kesitu, tapi Ibu tidak ingin meminta lebih kepada Erwin,Nak Rina”
“Bu di coba dulu, ini semua untuk kesehatan Ibu dan Seli. Ibu tidak igin sakit-sakitan seperti ini terus kan. Apa sebaiknya saya saja yang berbicara dengan Bang Erwin.”
“Nggak, gak usah, nanti Ibu akan coba membicarakannya dengan Erwin”
“Ya sudah kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu, lain kali saya akan mampir lagi Insyaallah. Mungkin saya akan coba tanyakan kepada beberapa orang dokter apakah penyakit Rett sindrom seperti yang diderita Seli bisa disembuhkan atau setidaknya bisa diminimalkan ketergantungannya dengan Ibu, saya kasihan melihat Ibu dan Seli. Tapi Ibu tetap sabar dan terus berdoa ya, semoga Allah bisa memberikan yang terbaik untuk Seli dan Ibu.”
Oh tamuku engkau begitu memperhatikan aku dan Ibuku, terima kasih ya, hah ada suara langkah menuju kamar ku, pasti Ibu datang lagi.
“Seli, ini mbak Rina, tamu yang tadi bersama Ibu, ayo salaman sama Mbak Rina”
Ya Tuhan ternyata tamuku ini adalah seorang yang sangat cantik, dengan tutup kepala yang lebar berwarna putih bersih, dan senyum yang sangat menenangkan semua orang. Sekarang dia berada tepat didepanku!.
“Seli…., Seli lupa ya, sama Mbak, kita kan pernah bertemu dulu, sewaktu Seli masih lima belas tahun, kita bermain di taman depan rumah, Seli tidak mau melepaskan pegangan Seli dari tangan Mbak, Seli masih ingat tidak”
“Hhh’ hhh’” ah entahlah mbak aku memang bahagia sekali jika diingatkan dengan taman itu. aku tidak begitu ingat apakah aku pernah bersamamu disana, yang jelas jika berada di taman itu, aku merasa sangaaat bahagia. Yang aku ingat hanyalah betapa indahnya berada di taman rumah ku. Hanya itu.
Ibu setiap pagi membawaku kesana berdua kami memegang tanaman yang ada . jika diijijnkan itu aku ingin berada disana lagi sekarang ini Mbak.
“Seli, Mbak pamit dulu ya, Insyaallah lai kali Mbak akan menemui Seli lagi” tamu ku memegangi tanganku. Oooh tangannya yang halus membuat aku tidak ingin melepaskannya. Ya…ya… aku ingat sekarang tangan sehalus ini yang dulu tidak ingin aku lepaskan, hanya ini satu-satunya tangan yang mau memegang tanganku dengan sangat lembut seperti sekarang ini. Aku tidak ingin melepaskannya.
“Seli, ayo lepaskan tangan Mbak Rina, Mbak Rina mau pulang” Ibu berusaha melepaskan pegangan ku.
“Benar kan Nak Rina Seli bersikap aneh seperti ini, makanya Ibu tidak pernah mengijinkan dia keluar dari kamarnya”
Tamuku menangis, air mata merebak dimatanya. Kenapa dia menangis, apakah dia tidak suka jika aku ingin tetap memegang tangan nya. Baiklah tamuku sayang aku akan melepaskan tanganmu, sekarang aku tidak ingin melihat engkau sakit dengan perbuatanku.
“Tidak apa-apa sayang, Seli boleh memegang tangan Mbak sampai kapanpun Seli mau” tamuku tersenyum tulus kepadaku sambil menyerahkan tangannya kembali ketanganku, yang tadi sempat aku lepaskan.
Dengan ragu aku kembali mengenggam tangan halus itu, hmmm terasa damai jiwa ini saat tangan halus itu berada dalam genggamanku.
Perlahan tamuku membawa aku duduk diatas tempat tidur, kepalaku direbahkan kedalam pelukannya. Sambil membelai belai rambutku tamuku menyanyikan sebuah lagu yang membuatku terbuai.
“Allahummarhamna bil Qur’an waj’alhu lana imamawa wannuuraw wahudaw warahmah, Allahumma dzakkirna minhuma nasiina wa ‘allimna minhuma jahiltu warzuqna tilawatahu aana alaili ana annahar waj’alhulana hujjatan yaa…. Rabbal alamiiin”
Aku benar-benar terbuai dengan senandung itu, hingga akhirnya aku tidak tahu apa-apa lagi aku tertidur pulas dialam mimpi bersama tamuku kami bermain ditaman yang sangat indah. Indah sekali, belum pernah ku lihat taman seindah ini sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ya sahabat... ^_^