Sabtu, 07 Februari 2009

Di Pecat


“Assalamualaikum Pak Irwan, apa kabar?” sapa Widi kepada pasiennya saat jam pergantian dinas malam.
“Waalaikum salam, baik suster Widi, oh ya, nanti malam masih ada suntikan amoxilin kan suster” Pak Ali balik bertanya.
“Iya Pak, masih ada satu kali lagi, untuk jam dua belas malam, karena sesuai dengan jadwal pemberian tadi siang dan kemarin, maaf loh mengganggu tidur Bapak lagi dengan suntikan Amoxilin itu” jelas Widi.
“Oh tidak apa-apa suster Widi, nanti suster sendiri kan yang akan memberikan suntikan itu?”
“Insyaallah, iya Pak, kalau begitu Bapak istirahat dulu ya, malam ini saya dan suster Farah yang jaga, kalau Bapak butuh bantuan, silahkan Bapak memanggil kami. Permisi dulu ya Pak, Assalamualaikum” Widi dan Farah keluar dari kamar Pak Irwan
“Waalaikum salam Suster, selamat bertugas” jawab Pak Irwan sambil tersenyum.
Perlahan Widi menutup pintu kamar 518 itu. Malam ini Widi bertugas menjaga delapan orang pasien VIP tempat dia bertugas selama ini. Pak Irwan adalah salah satu pasien yang sangat kritis tentang obat-obat yang diberikan kepadanya.
“Wid, kamu jaga Ibu Ningrum saja ya, biar nanti aku yang memberikan suntikan malam, tidak banyak kan suntikan yang akan diberikan malam ini?” Farah berbagi tugas dengan Widi. Karena malam ini Farah bertugas sebagai penanggung jawab ruangan Flamboyan itu.
“Baik mbak, suntikan malam hanya untuk Pak Irwan saja kok, sementara pasien lain rencananya ada yang pulang besok dan lusa.
“Kalau begitu kamu segera saja ke kamar Ibu Ningrum kamu pantau terus keadaannya ya. Aku akan menelpon dokter Ridwan dulu, mudah-mudahan saja beliau belum pulang.”
Widi segera menuju kamar Ibu Ninggrum. Ibu yang berumur enam puluh tahun ini menderita penyakit kanker otak stadium 4. Menurut dokter Ridwan yang merawatnya tidak ada kemungkinan untuk sembuh, apalagi beberapa hari belakangan ini kondisi ibu Ningrum semakin memburuk.
Padahal dua tahun yang lalu, tumor yang bersarang diotak Ibu Ningrum pernah diangkat, oleh dokter Ridwan, tapi sel ganas itu ternyata sudah menyebar diseluruh jaringan otak ibu Ningrum yang membuat Ibu satu anak itu menjadi kehilangan kesadaran.
Widi masuk ke kamar Ibu Ninggrum. Dengan Bismillah, Widi mulai memeriksa tekanan darah Ibu Ningrum dengan menggunakan tensi meter. Di dada Ibu Ninggrum sudah terpasang elektroda EKG.
Pak Rudi, anak Ibu Ningrum berpesan, ibunya tidak usah dirawat diruang ICU setelah mendengar penjelasan dari Dr Ridwan beberapa hari yang lalu. Jadilah kamar 507 ini di sulap seolah-olah mendekati fasilitas ICU, agar Ibu Ningrum dapat dipantau secara maksimal meskipun bukan diruangan ICU.
Selesai mengukur semua vital sign Ibu Ningrum dan mencatatnya dibuku catatan perawatan Ibu Ningrum, Widi memiringkan tubuh yang kurus itu kesisi kanan. Dan merapikan kembali selimut yang menyelimuti tubuh ringkih itu.
“Suster tolong jaga ibu saya ya, kalau suster sempat, tolong bacakan surah Yasin untuknya, karena saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya, nanti sepulang dari kantor, saya akan kesini lagi” begitu pesan Pak Rudi tadi pagi sebelum berangkat kekantornya.
“Maaf saya pagi ini harus kembali pulang Pak, karena jam tugas saya sudah berakhir, disamping itu saya akan kembali jaga nanti malam, Insyaallah nanti akan saya sampaikan kepada rekan saya yang jaga pagi ini” Widi terngiang percakapannya dengan Pak Rudi tadi pagi.
Ibu Ningrum terlihat gelisah. Widi melirik ke nakas, tafsir Alqur’an ada diatasnya. Widi meraih tafsir itu dan mulai membacakan surah Yasin. Widi mendekatkan wajahnya ke telinga Ibu Ningrum. Dengan tartil Widi melantunkan ayat suci itu di telinga kanan Ibu Ningrum. Perlahan seiring dengan bacaan Widi, Ibu Ningrum terlihat mulai tenang.
Selesai membaca surah Yasin, Widi kembali mengukur tekanan darah ibu Ningrum, tak lama berselang dokter Ridwan datang .
“Berapa tekanan darah Ibu Ningrum suster”
“80/60 dokter, sepertinya sudah semakin menurun , jam sepuluh tadi masih 90/60, apa perlu kita berikan Dopamin?”
“Baik kalau begitu, berikan dopamin melalui syiring pump”
Tanpa menunggu waktu lagi Widi segera ke ruang peralatan dimana syiring pump di simpan, bergegas Widi kembali kekamar Ibu Ningrum dengan Dopamin yang baru diambilnya dari laci obat, segera dioplosnya dengan cairan infuse yang digunakan Ibu Ningrum. Dokter Ridwan memberikan instruksi berapa mg/kg berat badan yang harus diberikan untuk ibu itu.
Setelah memasangkannya dengan menggunakan triway melalui selang infus ditangan kiri Ibu Ningrum, Widi segera mengatur syiring pump sesuai instruksi Dokter Ridwan tadi.
Ketegangan terlihat jelas diwajahnya. Widi kembali mengukur tekanan darah Ibu Ningrum. “Masih sama” gumamnya lirih. Meskipun hal ini untuk yang kesekian kali dialaminya, tak urung tetap membuat hati Widi remuk
“Halo, Pak Rudi, saya suster Farah, dari RS Mitra Anda, Apakah Bapak bisa segera kesini Pak, kondisi Ibu anda semakin memburuk Pak” Farah yang sedari tadi menghubungi Pak Rudi akhirnya berhasil berbicara dengan anak Ibu Ningrum.
“Baik, suster saya sedang dalam perjalanan kesana, terima kasih” telpon dimatikan.
Pak Rudi muncul dari balik pintu. Setelah mendengarkan penjelasan dokter Ridwan, Pak Rudi menghampiri ibunya dan mulai membacakan kalimat syahadat ketelinga sang Ibu.
Keadaan Ibu Ningrum semakin memburuk. Dua jam setelah dopamine diberikan ,tak membawa reaksi apapun terhadap tekanan darahnya, tekanan darah Ibu Ningrum terus turun, dan turun. Sampai tiba-tiba, flat panjang menghiasi monitior EKG. Innalillahi wa Inna ilaihi raji’uun. Ibu Ningrum meninggalkan anak dan seluruh hartanya diiringi kalimat syahadat yang dibacakan oleh putranya.
Dokter Ridwan yang hendak melakukan RJP, mengurungkan niatnya karena dilarang oleh Pak Rudi.
“Biarkan Ibu beristirahat dengan tenang dokter, saya sudah mengikhlaskan kepergian beliau, karena Allah memberikan yang terbaik untuk beliau, dengan kembali kepada Nya.”
*****
“Widi, rasanya sudah tidak ada yang kurang kan, coba kamu ingat-ingat kira-kira apa pekerjaan yang belum kita kerjakan, masalahnya pagi ini suster Keni‘si pencatat dosa’ sudah datang” Farah sibuk merapikan kembali laporan tugas mereka malam tadi.
“Saya rasa sudah semua Mbak.”
Farah mulai membacakan laporan tugas mereka malam tadi kepada rekan sejawatnya yang bertugas pagi ini. Sementara itu Widi merapikan beberapa kamar pasien yang belum sempat dirapikannya tadi.
Suster Marni koordinator ruangan itu menemani Suster Keni untuk mengunjungi pasien- pasien kekamar mereka. Suster Keni sudah datang sejak jam tujuh tadi pagi.
“Akhirnya selesai juga tugas kitaWid, ayo kita pulang” ujar Farah setelah semua tugas sudah dilaporkan.
“Suster-suster, tunggu sebentar” panggil Suster Marni ketika mereka berdua melangkah meninggalkan Nurse station itu.
Widi dan Farah saling berpandangan, kedua perawat yang terlihat sangat lelah itu saling mengangkat bahu mereka, dengan setengah bingung mereka berdua segera menghampiri Suster Marni.
“Kalian berdua ditunggu diruangan dokter Feni, sekarang.”
“Ada masalah apa Bu, kenapa kami harus keruangan Dokter Feni” Tanya Farah bingung, karena kalau keruangan Dokter Feni, berarti ada kesalahan besar yang sudah mereka lakukan, apakah ada hubungannya dengan kematian Ibu Ningrum semalam. Tapi mereka sudah melakukan tugas sesuai prosedur RS ini, disamping itu dokter Ridwan pun berada disana saat Ibu Ningrum menghembuskan nafas terakhirnya.
“Aduh, Ibu tidak habis fikir, kenapa suster Keni yang langsung menemukan masalah kalian, kenapa bukan Ibu” Sesal suster Marni.
“Ayo, kalian sudah ditunggu di ruangan dokter Feni” Suster Marni melangkah menuju ruangan Dokter Feni diiringi oleh Widi dan Farah yang berjalan dengan jantung berdebar.
Widi mulai membaca zikir dalam hati, karena hanya itu yang membuat dia merasa tenang.
“Selamat pagi Dok” Farah dan Widi menyapa dokter Feni.
“Hmm, pagi, silahkan duduk” jawab Dokter Feni dingin.
“Semalam siapa yang bertugas memberikan obat kepada pasien” Dokter Feni dengan wajah masamnya mulai melancarkan pertanyaan.
“Saya Dokter” jawab Widi.
“Obat apa yang sudah kamu berikan kepada Pak Irwan”
Pak Irwan? Widi mengernyitkan alisnya, Farah yang mengambil alih tugasnya itu, karena semalaman Widi memantau Ibu Ningrum yang akhirnya meninggal.
“Ayo jawab!” bentak dokter Feni.
“Subhanallah!” Widi terlonjak kaget
“Semalam saya tidak memberikan obat apapun kepada pak Irwan dokter, karena saya bersama dokter Ridwan memperhatikan Ibu Ningrum”
“Kamu jangan berkilah, karena Pak Irwan mengatakan obat yang biasa diberikan kepadanya tidak sama dengan yang dia dapatkan tadi malam.”
“Maaf dokter, saya yang seharusnya memberikan Amoxilin kepada pak Irwan, tapi karena semalam keadaan ibu Ningrum yang memburuk, saya lupa memberikan obat itu. jadi tidak ada seorang pun yang menyuntikkan obat kepada Pak Irwan” jelas Farah.
“Benar, dokter Feni, mereka berdua bersama saya memantau kondisi ibu Ningrum yang terus memburuk.” Dokter Ridwan memberikan pembelaan.
“Saya tidak percaya, karena pasien sendiri yang mengatakan hal itu kepada suster Keni, dan karena kesalahan yang kalian lakukan maka segera buat surat pengunduran diri kalian, mulai saat ini kalian berdua DI PECAT!.”
“Tapi dokter, ijinkan kami menanyakan hal itu kepada Pak Irwan dulu” Widi dan Farah berusaha membela diri.
“Tidak perlu, kalian berdua silahkan meninggalkan ruangan saya.”
Dengan langkah lunglai kedua perawat yang baru saja kehilangan pekerjaan mereka, segera meninggalkan tempat itu.
*****
“Suster Marni beberapa hari ini saya tidak melihat suter Widi dan suster Farah” Pak Irwan muncul didepan nurse station ketika pamit hendak pulang.
“Iya Pak, mereka sudah tidak bekerja disini lagi”
“Tidak bekerja disini, padahal saya mau menanyakan kenapa suster Widi tidak menyuntikan obat saya sewaktu dia jaga malam kemarin. Sampai sampai saya ketiduran dan bermimpi suster Widi salah menyuntikan obat.”


Bekasi 28 desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ya sahabat... ^_^