Jumat, 09 Januari 2009
Hukuman yang Menyebalkan
Hari ini Syifa sedikit terlambat sampai di sekolah. Karena semalam tidurnya agak larut, bangun tadi pagi jadi kesiangan. Sebenarnya jam pelajaran belum dimulai, teman-teman Syifa yang lain sedang tadarus alqur’an sebelum masuk kelas mereka.
Karena terlambat semenit itu, guru BP Syifa yang bernama Ibu Nur, memberikan hukuman kepada Syifa berupa menulis kalimat, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi sebanyak 3 helai atau 6 halaman buku tulis!.
“Ya Allah banyak banget sih Bu..” rengek Syifa kepada Bu Nur dengan tampang memelas agar diberi keringanan.
Tampang melas Syifa tidak menggugah hati sang Bu Guru. Akhirnya pas jam istirahat Syifa terpaksa melakukan hukumannya dengan tidak sepenuh hati.
Hari selanjutnya Syifa tidak pernah terlambat lagi, tapi kali ini Syifa melihat Nia yang terlambat. Pasti hukumannya sama seperti aku, batin Syifa.
“Nia kamu gak ngerjain tugas dari Bu Nur” Tanya Syifa ketika melihat Nia jam istirahat tenang-tenang saja.
“Tugas apaan?” jawab Nia balik bertanya.
“Kan kamu tadi terlambat, jadi kamu kan harusnya dihukm unutk menulis sebanyak 6 halaman” jelas Syifa.
“Enggak tuh, aku gak dihukum sama Bu Nur” jawab Nia jujur.
“Hah!, Masak aku dihukum, kamu enggak sih” gerutu Syifa seraya berlalu dari hadapan Nia.
Sampai dirumah, sepulang sekolah, Syifa bercerita kepada Ibunya tentang hukuman dari Bu Nur yang dia rasa tidak adil.
Mana Sepatuku
“Teeeettt…..” Bunyi bel tanda jam pelajaran berakhir terdengar memecah kesunyian di sore itu. Syifa yang bersekolah di SDIT Al Muchtar tak jauh dari rumahnya segera merapikan buku-bukunya dan bersiap-siap untuk pulang. Setelah do’a bersama murid kelas 4 C di kelas Syifa pun segera berhamburan keluar kelas. Anak-anak yang baru pulang sekolah itu pun berebutan mengambil sepatu mereka untuk dipakai.
Seperti biasa, di sekolah mereka, sepatu memang harus dilepas, dan diletakkan dirak sepatu. Karena pada waktu salat dhuha dan salat lohor, teras didepan kelas mereka dipakai untuk salat berjamaah. Syifa yang sudah mengantri di depan rak sepatu, tidak melihat sepatu pink kesayangannya.
“Sepatuku kok gak ada ya” gumam Syifa.
“Kita cari aja Syif, sini aku temenin” saran Salma.
Syifa mulai mencari sepatunya dirak sepatu kelas lain. Semua kelas dilantai dua itu di periksa oleh Syifa dengan dibantu temannya Salma. Tapi tetap saja sepatu lucu itu tidak ditemukannya.
Sementara itu di halaman sekolah Ibu dan Hikmal adik Syifa sudah lelah menunggu.
“Tante, sepatu Syifa hilang” beritahu Riris teman Syifa kepada Ibu yang hampir kesal menunggu Syifa.
“Masyaallah, hilang dimana Ris?” tanya Ibu bingung.
“Gak tau tante, itu, Syifa lagi nyariin kekelas bawah”
Sekilas Ibu melihat Syifa masuk kekelas 4a dan 4b yang berada dilantai dasar.
“Alhamdulillah, ternyata ada disini!” Pekik Syifa senang. Syifa segera mengambil sepatu itu dan mengenakannya. lalu berlari kearah Ibu yang sudah menunggunya.
Lomba Membawa Tampah di Atas Kepala
“Selanjutnya lomba membawa tampah diatas kepala, untuk adik-adik yang berusia 8 dan 9 tahun ya” Panitia lomba tujuh belasan mulai memanggil nama-nama peserta yang akan mengikuti lomba itu.
Karena Syifa bulan oktober yang akan datang berusia delapan tahun, maka kali ini Syifa ikut lomba membawa tampah diatas kepala. tampah kecil itu diisi tepung agar sedikit berat dan mudah untuk diletakkan diatas kepala.
“Satu…., dua…., tiga….” panitiapun memulai perlombaan.
Perlahan namun pasti, Syifa dan semua peserta lomba lainnya, mulai melangkah dengan tampah berisi tepung diatas kepala mereka.
“Syifa…, Syifa…Syifa…!” Teriak Ibu dan Bapak memberi semangat untuk Syifa.
“Ayo Kak, cepeeeet!” Hikmal ikut menyemangati Kakaknya.
Satu jalan berhasil dilewati Syifa, ketika hendak berbalik, tiba-tiba…
“Ya…., tampahnya jatuh” teriak Syifa kesal. Bahu dan sebagian kepalanya terkena tepung yang ikut tumpah.
“Udah, gak apa-apa, namanya juga lomba, pasti ada yang menang dan ada yang kalah” Bapak dan Ibu menghibur Syifa.
“Ha..ha…ha…” Kakak seperti badut, rambut dan bajunya putih semua” ledek Hikmal.
“Biarin!, nih Kakak kasih adek, biar sama-sama kaya’ badut” Syifa mengejar Hikmal yang langsung kabur ketika diancam Kakaknya.
“Adek gak mau…..” Hikmal lari menghindar dari kejaran Kakaknya.
Aku Seperti Robot
AKU SEPERTI ROBOT
“Bu, kok tangan Kakak rasanya kaku begini” Syifa memperlihatkan tangannya kepada Ibu , jari tangan Syifa membengkak dan terlihat kaku.
“Masyaallah” Ibu kaget ketika melihat tangan Syifa bengkak seperti balon yang akan meletus. Ibu baru saja selesai mengompres Syifa dengan air es, karena badan Syifa panas sejak semalam.
Walaupun Ibu sudah meminumkan Syifa obat penurun panas, namun suhu tubuh Syifa hanya normal dua jam saja, kemudian suhu tubuh Syifa naik lagi. Ibu gak berani memberikan obat penurun panas kembali untuk Syifa. Ibu takut Syifa akan kelebihan dosis karena baru meminumnya beberapa jam yang lalu. Jadi Ibu berusaha menurunkan suhu tubuh Syifa dengan mengompres kepala Syifa menggunakan wash lap yang di rendam di air es.
“Bu, badan Kakak, semuanya pada gatel nih” Syifa mulai menggaruk-garuk anggota badannya yang gatal.
“Ya Allah kenapa ini!” Ibu panik ketika melihat beberapa bagian tubuh Syifa sudah mulai bengkak termasuk bibir dan mukanya, seperti terkena ulat bulu!
“Kita kedokter aja yuk Kak” Ibu Buru-buru memasangkan jaket ke badan Syifa. Setelah itu Ibu mengajak Hikmal adik Syifa untuk memanggil Taksi, di pangkalan taksi yang tidak begitu jauh dari rumah. Sementara itu Syifa menunggu di rumah. Tak begitu lama Ibu kembali dengan Taksi yang akan membawa mereka ke Rumah Sakit.
“Kak ,ayo, Taksinya udah datang” Ibu memapah Syifa. yang mulai kesulitan berjalan untuk masuk kedalam Taksi.
“Rasanya, Kakak seperti robot ya Bu, tangan Kakak gak bisa digerakin kaki Kakak juga terasa kaku” ungkap Syifa sambil berusaha menggerakkan tangannya. Cara Syifa mengangkat tangan persis seperti cara robot mengangkat tangan.
“Ya… Kakak jangan jadi robot dong” celetuk Hikmal adik Syifa yang baru berumur lima tahun. Hikmal sedikit bingung melihat perubahan bentuk tangan kakaknya yang mendadak menjadi besar dan merah seperti balon yang sedang di tiup.
“Ye…, Adekada-ada aja, masa Kakak mau jadi robot” sahut Syifa mencoba untuk tersenyum. Syifa akhirnya berhasil duduk di dalam Taksi.
Taksi pun melaju ke Rumah Sakit Sakinah. Syifa biasa berobat di RS tersebut kalau dia atau keluarganya sakit.
Ibu memapah Syifa ke ruang tunggu, setelah ongkos taksi beliau bayar. Hikmal ikut memapah kakaknya, sebenarnya Hikmal agak ngeri ketika memegang tangan kakaknya, soalnya tangan Kakak seperti bola dan jika di pegang terasa keras. Tapi Hikmal tetap memegang tangan Syifa, Hikmal sangat sayang dengan kakaknya , apalagi jika kakak sakit begini, Hikmal sangat sedih dan kasihan melihat keadaan kakaknya itu.
“Syifa hanya alergi dingin, jika sudah kena cuaca dingin atau air dingin, maka badan Syifa akan bereaksi dengan cara seperti tadi, yaitu bengkak di sana sini. Insyaallah, setelah minum obat ini badan Syifa sudah enggak bengkak seperti ini lagi” ujar Dokter Rahim sambil memberikan resep obat untuk Syifa kepada Ibu.
“Tapi dokter, sebelumnya Syifa tidak pernah seperti ini” Ibu masih cemas dengan keadaan Syifa.
“Coba Ibu ingat-ingat dulu, pasti pernah suatu kali Syifa mengalami hal ini tapi tidak separah ini. Mungkin hanya beberapa bentol kecil seperti di gigit nyamuk. Hal ini biasanya timbul jika daya tahan tubuh Syifa sedang lemah Bu, kalau daya tahan tubuh Syifa sedang bagus biasanya alergi ini tidak akan terjadi”
Ibu berpikir keras untuk mengingat-ingat kejadian yang di maksud dokter.
“Kakak ingat Bu! Kakak pernah bentol-bentol juga waktu musim hujan kemaren tapi kecil kecil , lalu Ibu mengoleskan talk di bentol Kakak, dan membuatkan kakak susu hangat, tak lama kemudian bentolnya hilang” Seru Syifa mengingatkan Ibu.
“O…Iya, benar dokter, satu lagi sewaktu bayi dulu Syifa juga pernah bentol waktu pertama kali makan telur.”
“Kalau begitu Syifa harus selalu sehat, dan jaga makanan yang Syifa makan agar bentolnya tidak kembali lagi” senyum dokter Rahim.
“ Baik Dokter, Syifa akan mengingat pesan dokter”
“Iya Kak, biarKkakak gak seperti robot lagi” Celetuk Hikmal.
“Ha…ha…ha..” Ibu dan dokter Rahim jadi tertawa mendengar celetukan Hikmal itu. Syifa hanya bisa senyum-senyum saja.
Setelah mengambil obat di apotik, Ibu meminta Syifa untuk segera meminum obatnya, dan mereka pun kembali kerumah.
Ya Allah, mudah-mudahan besok aku sudah tidak seperti robot lagi, batin Syifa. Amin….
Kamis, 01 Januari 2009
Are parents good teachers of their children?
Obviously, the first teachers we have in our lives in most cases are our parents. They teach us to walk, to speak, and to have good manners before we reach "the real world." More than even the professional teachers that we have in school, parents are generally the most involved in the development and education of children.
Almost for sure our parents are the best teachers at the beginning of our lives, which actually corresponds to the parents' role in nature. Parents are most committed and involved in teaching their children; they have a kind of instinct to sacrifice a part of themselves for the betterment of their children. They love us and have great patience while passing down their knowledge to us. They wish us a success and thus will not teach us bad things. And of course, implicit learning occurs when children unconsciously copy some of their parents' habits and styles of behavior.
During the second stage of child development, adolescence, parents can still be in the best position to offer advice even though the children might not accept it. In this case, perhaps the child's friends would be the best teachers. Adolescents are notoriously rebellious in many cultures and may automatically reject any advice from their parents. My first marriage for instance, was solely a matter of doing the opposite when my parents tried to intrude in offering their advice. So in such matters, parents should be much more flexible and be rather the partners with their children. So we can see that being a teacher of growing child become more and more complicated case as the time passes and many parents are simply not able to meet the increased demands.
On the other hand, I would say that parents are not professional teachers and they tend to be very biased by their love of their children. So wishing good things and an easy life may prevent children from maturation. In any case, parents usually can present only one viewpoint of the world, while good teaching should be based on different attitudes. Thus, when children go to school and have a great diversity of teachers, they learn much more than their parents could probably give them. Furthermore, once our parents get older, they become more conservative and cannot always be objective in regard to modern trends and fashions. Thus we need to take their advice with caution during that period. However, some kind of intuition which I believe shared between relatives about what everybody needs and great love which exists in a families still makes our parents very good teachers and advisers at any time.
In conclusion, while parents are not the ideal teachers, and well-rounded children will generally need a great diversity of teachers in their lives in order to have a more accurate view of the world, parents are generally the most committed of all teachers and have the greatest emotional investment in their children and their future.
Laptop Ajaib
Dalam buku ini terdapat pelajaran tentang do'a, kata-kata dalam bahasa Arab, dan beberapa surat pendek (Al-Qur'an) yang di kemas dengan mengasyikkan! Sehingga, membuat anak-anak yang membacanya tidak merasakan sedang belajar "Sesuatu".